Apa kabar
Mahameru?
Ini aku, ribuan mil jauhnya darimu. Masih
dinginkah puncakmu di atas sana?
Aku ingat saat pertama kali menempuh jalan panjang itu ke puncakmu. Hari itu
juga mendung. Aku berdiri di atas bak truk dekil menuju Ranu Pane, lukisan
hidup. Belum pernah sekalipun aku bepergian naik truk seperti itu. Dekil. Bau.
Penumpangnya bukan cuma manusia, tapi juga sayur-mayur hasil panen dan …
kambing-kambing ternak.
Apa kabar Mahameru?
Kau tahu? Meskipun truk itu dekil
dan bau, aku tetap pergi menagih janji puncakmu yang damai berselimut kabut.
Jujur, waktu itu tak sepenuhnya aku yakin bisa meraihmu. Sosokmu yang anggun
bertahta di ketinggian 3676 mdpl sempat membuatku goyah sesaat. Begitu agungnya
Pencipta-mu. Dan aku bukanlah apa-apa, juga siapa-siapa. Bahkan tak ada satu
pun yang bisa menjamin aku bisa kembali darimu saat itu.
Apa kabar Mahameru?
Inilah aku. Bertahun-tahun lalu aku
menggeliat susah payah di haribaanmu. Aku bagaikan seberkas debu di tengah
lautan pasirmu yang luas. Merangkak tersengal menembus beku fajar pagi itu. Dan
kamu tetap disana, seolah menantang semua yang ada dengan semburan asap tebal
kawah Jonggring Salaka. Aku terpaku dalam keheningan pagi. Tanpa kokok ayam
jantan. Tanpa deru kendaraan. Tanpa hingar bingar kehidupan maksiat. Di
sekelilingku hanya desau angin menusuk tulang. Di depanku hanya engkau,
Mahameru, maha karya sang Khalik. Di hatiku hanya nama Allah bergaung tak
tertabiri.
Apa kabar Mahameru?
Masih ingat tapak tanganku di puncak
pasirmu? Tepat di depan prasasti Soe Hok Gie dan Dhanvantari Lubis. Mungkin
kamu tidak mengingatnya lagi. Ribuan tapak tangan telah singgah di puncakmu,
aku tahu. Tapi aku masih mengingat perjalanan itu. Selalu. Aku bahkan
tinggalkan beberapa tetes air mataku di tepi Ranu Kumbolo senja itu.
Apa kabar Mahameru?
Aku
merindukanmu hari ini kendati sudah berulang kali kubaca catatan perjalananku
di buku harian. Aku tak lagi bisa memandang sosokmu dari jendela seperti dulu.
Mungkin suatu hari nanti aku akan datang naik truk dekil itu sekali lagi. Atau
mungkin truk dekil itu sudah tak ada lagi? Entahlah.
Aku
merindukanmu Mahameru …
… juga sabanamu
yang menguning keemasan, cermin besar Ranu Kumbolo, gundukan Tanjakan Cinta,
pagar-pagar pinusmu dan edelweismu yang merekah wangi. Aku rindu kalian …
0 comments :
Post a Comment