Bertahun-tahun
lalu, sebelum tragedy Lumpur Lapindo, saya paling suka melintasi jalan tol
dalam perjalanan Malang – Surabaya dan sebaliknya. Nggak ada sebab yang
khusus. Hanya saja saya suka banget melihat pemandangan yang saya lewati selama
perjalanan. Saya bisa lihat Gn. Arjuno yang menjulang gagah berdampingan dengan
Gn. Penanggungan di sisi kiri jalan dan Gn. Semeru di sisi jalan yang lain. Itu
belum termasuk hamparan sawah dan padang
rumput hijau yang luas. Bikin ketagihan deh pokoknya. Apalagi kalo kita
perginya waktu pagi atau senja hari, makin keren pemandangannya.
Untuk urusan menjelajahi jalan tol
ini, saya punya seorang temen yang punya selera sama kayak saya. Malah lebih
parah. Kalo dia lagi bete, dia biasanya langsung cabut ke terminal bus trus
kabur ke Surabaya.
Sesampainya di sana, dia langsung naik bus lagi
balik ke Malang.
Cuma untuk lihat pemandangan di sepanjang jalan tol itu. Hehehe, ada ya orang
kayak gitu.
Ada satu pengalaman paling berkesan yang
muncul waktu kami sedang dalam perjalanan Surabaya-Malang via tol suatu hari.
Awalnya saya ketemu dia di kampus pagi-pagi. Dia lagi nongkrong di depan
secretariat Pecinta Alam lengkap dengan jins belel kebanggaannya.
“Kamu udah sarapan, Luk?” dia negur
saya.
“Boro-boro. Tadi aja telat bangun,”
jawab saya asal.
“Sarapan yuk?”
“Dimana?” saya balik nanya.
“Surabaya lewat jalan tol. Aku
traktir nih,” dia nyengir.
Dan saya bukanlah tipe orang yang
terbiasa menolak traktiran. Jadilah kita pergi ke terminal bus saat itu juga.
Cuaca sedang cerah waktu itu. Matahari bersinar, tapi nggak terasa panas (kok
kayak lirik lagunya Slank?). Pokoknya cuaca yang bagus untuk kelayapan.
Di bus kami nggak banyak bicara.
Saya lebih sibuk dengan Wrigley Spear Mint di mulut saya. Sementara temen saya (yang
kayaknya lagi bete itu) tenggelam dalam lamunan sambil mengoyak karcis busnya
menjadi serpihan-serpihan kecil. Setiap lima
menit dia melemparkan secuil serpihan itu ke rambut keriting penumpang yang
duduk di depannya. Saya baru menyadari ketika penumpang itu turun, rambutnya
udah penuh serpihan karcis bus.
Waktu saya tegur, temen saya itu
cuma ketawa sambil ngomong,”Lah, orang dianya ikhlas kok kamu sewot.”
Dasar!
Kami kemudian makan di salah satu
fast food di Plaza Tunjungan. Masih tanpa pembicaraan berarti. Rupanya temen
saya bener-bener bete. Tapi yang saya nggak abis pikir, kok dia malah ngajak
saya jalan-jalan? Temen yang aneh …
Seusai makan, rute berbalik kembali
ke terminal bus. Cuaca mulai sedikit mendung. Ketika bus yang kami tumpangi
mulai bergerak, gerimis mulai turun
satu-satu meninggalkan titik-titik basah di kaca jendela. Saya larut menikmati
pemandangan di luar jendela.
“Luk, hal apa yang bikin kamu
sedih?” temen saya tiba-tiba buka suara.
Saya menggigit bibir sebentar lalu
menjawab, “Ya macem-macem sebab sih. Nggak tentu. Tapi paling sedih waktu ibuku
meninggal.”
Temen saya mengangguk.
“Hebat. Kamu bisa melewati saat-saat
berat itu sendirian. Gimana sih biar bisa kayak gitu?”
Bus mulai memasuki kawasan tol. Gerimis
sudah berhenti. Di luar jendela, padang
rumput hijau terbentang menyejukkan mata siapa saja. Tapi kali ini saya lebih
tertarik menatap ke langit.
“Tuh liat,” saya nempelin telunjuk
ke kaca jendela. “Bagian sisi awan mendung ada garis-garis peraknya. Liat
nggak?”
Temen saya mencondongkan tubuh
mendekati jendela.
“So what?”
“Itu artinya setiap permasalahan
selalu ada sisi baiknya. Awan mendung itu ibarat masalah yang kita hadapi dan
garis-garis perak itu mewakili segala kemungkinan bagi kita untuk menjadi lebih
baik. Coba bayangin, apa yang terjadi pada garis-garis perak itu kalo
mendungnya tertiup angin?”
Temen saya diam sejenak.
“Yang terjadi adalah … langit jadi
cerah, atau … ada pelangi.”
“Bagus mana, mendung atau pelangi?”
“Ya bagus pelangi-lah! Jauuuhh.”
“Kalo gitu, ngapain sekarang kamu
bete? Apa pun masalahmu, di balik itu ada pilihan yang lebih baik. Paham?”
Dia tersenyum.
“Iya bener. Aku baru tau kamu pinter
bikin kata-kata bagus kayak gitu, Luk. Nggak sia-sia kamu jadi anak Sastra.”
“Pinter apaan? Wong itu tadi aku
adaptasi dari ungkapan bahasa Inggris jaman SMA, every cloud has silver lining.” giliran saya ketawa.
Anyway, sesampainya di Malang, temen saya itu
udah nggak bete lagi. Entah karena pemandangan indah di sepanjang jalan tol
atau malah gara-gara ungkapan ‘every
cloud has silver lining’ itu.
Sebelum kami berpisah di kampus, dia
berujar, “Thanks nasehatnya ya? Pasti aku inget deh.”
“Oke, tapi plis deh, kalo bete
jangan ngajak aku jalan-jalan lagi. Garing abis tau nggak?”
Lagi-lagi dia ketawa.
“Nggak. Aku nggak bakal ngajak kamu
lagi. Kalo bete aku bakal ngeliat langit and
I know everything’s fine. There’s no
need to worry.”
Saya
berbalik sambil mengangkat bahu sekilas, “Well,
I hope so.”
Photo courtesy http://wallpapersus.com/wp-content/uploads/2012/11/Blue-Sky-Clouds-Grass.jpg
0 comments :
Post a Comment